Opini : Heri Cahyo Bagus Setiawan, Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Negeri Surabaya, dan Direktur Utama PT Riset Manajemen Indonesia.
Surabaya, Spotnews.id – Indonesia memasuki usia ke-80 tahun kemerdekaan pada 2025. Perayaan berlangsung meriah di berbagai daerah dengan lomba rakyat, upacara bendera, hingga karnaval budaya. Namun, di balik gegap gempita itu, muncul pertanyaan penting: apakah bangsa ini sudah benar-benar merdeka secara ekonomi?
Secara politik, Indonesia telah bebas sejak 1945. Pemerintah berdiri sendiri, hukum ditegakkan tanpa intervensi asing, dan diplomasi dijalankan atas nama bangsa. Namun, kemandirian ekonomi—kemampuan mengelola sumber daya, menentukan arah pembangunan, dan lepas dari ketergantungan—masih menjadi pekerjaan besar yang belum tuntas.
Di tengah derasnya arus globalisasi dan disrupsi teknologi, diperlukan strategi baru yang berakar pada kekuatan internal bangsa. Salah satu potensi besar yang kini dilirik adalah pesantren.
Pesantren sebagai Katalis Ekonomi
Pesantren tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan agama, tetapi juga pusat pembentukan karakter, modal sosial, dan spiritualitas. Sejarah mencatat, para ulama terdahulu menjadikan pemberdayaan ekonomi sebagai bagian dari dakwah. KH Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatut Tujjar untuk memperkuat pedagang santri, sementara KH Ahmad Dahlan membangun amal usaha mandiri bagi Muhammadiyah.
Semangat itu kini hidup kembali melalui gerakan santripreneur, yang memadukan kecerdasan bisnis dengan misi sosial. Usaha yang dijalankan santri tidak sekadar mengejar keuntungan, tetapi juga mengatasi persoalan kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan.
Langkah Strategis Menuju Indonesia Emas
Dalam visi Indonesia Emas 2045, keberhasilan bangsa tidak hanya diukur dari pertumbuhan ekonomi, melainkan juga pemerataan kesejahteraan. Untuk itu, pesantren didorong mengambil tiga langkah utama.
Pertama, menumbuhkan kewirausahaan adaptif di kalangan santri. Penguasaan teknologi digital, manajemen modern, hingga pemasaran berbasis data menjadi kunci untuk menembus pasar global.
Kedua, memperkuat kolaborasi. Pesantren perlu bermitra dengan alumni, pelaku usaha, BUMN, hingga investor syariah. Jaringan semacam ini terbukti mampu melahirkan model bisnis inklusif dan membuka akses pasar lebih luas.
Ketiga, membangun ekonomi berbasis nilai. Usaha pesantren harus berlandaskan prinsip maqashid syariah, menekankan keadilan distribusi, keberlanjutan, serta bebas dari praktik merugikan masyarakat. Industri halal, agroteknologi ramah lingkungan, hingga fintech syariah menjadi sektor potensial.
Momentum Refleksi
Para kiai dan pengelola pesantren diharapkan mengadopsi kepemimpinan transformatif, yang tidak hanya mengatur tetapi juga menginspirasi dan memberdayakan. Dengan begitu, pesantren dapat tampil sebagai motor penggerak ekonomi umat yang tangguh dan berdaya saing global.
HUT RI ke-80 tahun ini menjadi momentum refleksi: jika kemerdekaan politik telah diraih pada 1945, maka kemerdekaan ekonomi adalah bab berikutnya yang harus dituntaskan.
Santri masa kini tidak lagi hanya berdagang di pasar lokal. Mereka mampu memasarkan produk halal ke luar negeri, mengembangkan aplikasi pendidikan berbasis pesantren, hingga menciptakan inovasi agroteknologi yang mendunia.
Kemerdekaan sejati, sebagaimana ditegaskan banyak tokoh, adalah ketika setiap anak bangsa mampu berdiri di atas kaki sendiri. Dan pesantren, dengan kekuatan sejarah, nilai, dan inovasinya, siap menjadi salah satu penopang utama Indonesia menuju masa depan emas 2045.
(Sumber: TimesIndonesia // Cc: Spotnew.id Us)








