Opini : Heri Cahyo Bagus Setiawan Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Negeri Surabaya; Direktur Utama PT Riset Manajemen Indonesia
Surabaya, Spotnews.id – Dalam gelombang perubahan global, ketahanan pangan tidak lagi hanya ditentukan oleh jumlah produksi, tetapi juga oleh siapa yang menggerakkannya. Di tengah tantangan regenerasi petani, muncul harapan baru dari barisan anak-anak muda yang memilih kembali ke sawah dan ladang. Mereka bukan sekadar petani biasa. Mereka adalah wiratani – wirausaha tani muda – yang menggabungkan semangat bisnis, inovasi teknologi, dan kecintaan pada tanah air.
Salah satu figur inspiratif dari kalangan wiratani ini adalah Abdul Ghofur, petani milenial dari Gumukmas, Kabupaten Jember. Dengan konsistensi menanam dan mengembangkan cabe jamu, Ghofur tidak hanya menyuplai pasar lokal, tetapi juga memperkuat rantai pasok industri herbal tradisional yang kini tengah berkembang pesat seiring tren back to nature. Ia membuktikan bahwa petani muda bukan pelengkap, melainkan penggerak penting ekosistem pangan dan kesehatan nasional.
Wiratani dalam Perspektif Manajemen Strategik
Dalam kerangka manajemen strategik, wiratani memainkan tiga peran penting. Pertama, agent of innovation. Mereka tak ragu mengadopsi teknologi digital untuk pertanian. Ghofur, misalnya, aktif di media sosial dan kanal YouTube pribadinya. Ia mendokumentasikan kegiatan bertaninya, memberikan edukasi mengenai budidaya cabe jamu, serta melakukan live streaming untuk menjangkau pasar dan membangun interaksi langsung dengan konsumen. Ini bukan hanya strategi pemasaran, tetapi juga edukasi publik berbasis pengalaman nyata.
Kedua, creator of shared value. Abdul Ghofur telah berhasil menghubungkan pertanian dengan industri herbal. Dengan menjaga kualitas dan kontinuitas pasokan bahan baku herbal, ia mendukung tumbuhnya UMKM jamu tradisional yang menjadi bagian dari ekonomi rakyat. Sinergi antara pertanian dan industri ini memperkuat nilai tambah di sektor hulu dan hilir.
Ketiga, strategic change leader. Ia menjadi contoh transformasi peran pemuda dalam pembangunan desa. Ghofur bukan hanya bertani, tetapi juga berdakwah literasi pertanian—menginspirasi anak-anak muda untuk kembali melihat pertanian sebagai jalan hidup yang mulia.
Ketahanan Pangan Butuh Regenerasi
Menurut Sensus Pertanian 2023 oleh BPS, sekitar 58% tenaga kerja pertanian berusia 45 tahun ke atas, bahkan mayoritas mendekati 60 tahun. Jika tak segera ada regenerasi, ketahanan pangan nasional berada dalam risiko. Di sinilah urgensi membangun ekosistem wiratani. Pemerintah perlu melihat mereka bukan sekadar petani muda, tetapi sebagai aktor strategis ekonomi. Pendidikan vokasi pertanian, insentif wirausaha tani, inkubator agribisnis, serta konektivitas digital menjadi fondasi penting dalam strategi ini.
Apalagi, pertanian hari ini tak bisa lagi lepas dari pendekatan bisnis. Smart farming, agrowisata, industri olahan, dan pertanian organik merupakan ladang baru yang dapat dimasuki wiratani. Mereka hadir bukan karena keterpaksaan, tetapi karena kesadaran dan kecintaan akan tanah air, yang secara strategis sangat selaras dengan agenda Indonesia Emas 2045.
Menabur Benih Peradaban dari Ladang Pertanian Anak Muda
Ketika anak muda memutuskan bertani, sejatinya mereka sedang menanam lebih dari sekadar benih di tanah. Mereka sedang menanam harapan, kedaulatan, bahkan peradaban. Dari ladang-ladang seperti milik Ghofur di Jember, tumbuh semangat berdikari, inovasi lokal, dan kesadaran ekologis. Inilah titik balik peradaban kita: membangun Indonesia dari desa, dari tanah, dan dari tangan-tangan anak mudanya.
Abdul Ghofur dan para wiratani di seluruh Nusantara adalah wajah masa depan Indonesia yang sejahtera. Mereka memberi jawaban atas kekhawatiran generasi muda yang kehilangan arah dan menghadapi pengangguran. Mereka menjadi bukti nyata bahwa kemandirian ekonomi bisa dimulai dari membajak tanah dan merawat kebun.
Rekomendasi Strategis
Untuk memperkuat peran wiratani dalam pembangunan nasional, dibutuhkan ekosistem pendukung yang kokoh. Pemerintah bersama akademisi dan pelaku industri perlu mengembangkan pendidikan dan pelatihan agribisnis yang adaptif terhadap teknologi digital dan tren herbal. Skema insentif serta perlindungan harga hasil pertanian juga penting agar petani muda memiliki keberlanjutan usaha yang stabil.
Tak kalah penting, akses pembiayaan mikro harus diperluas melalui sistem berbasis komunitas yang inklusif. Peran penyuluh pertanian pun perlu direvitalisasi, tak hanya sebagai teknisi lapangan, tetapi sebagai mentor bisnis bagi wiratani. Terakhir, penguatan akses pasar ekspor—khususnya produk herbal dan organik—akan membuka peluang baru bagi generasi muda yang menekuni pertanian dengan pendekatan global.
Dengan langkah-langkah ini, wiratani bukan hanya akan bertahan, tetapi tumbuh menjadi garda depan ketahanan pangan dan kemakmuran bangsa. *US
(Sumber: Kabarnusantara // Spotnews.id – US)








