Spotnews.id- Kisah ini dimulai dengan perjalanan seorang relawan BAZNAS Jawa Timur, Bu Ita Julaikha, yang bertugas untuk survei langsung di lapangan. Sebagai relawan, Bu Ita kerap berinteraksi langsung dengan para dhuafa, dan salah satu kisah yang paling membekas dalam ingatannya adalah perjuangan hidup Mbah Muntamah.
Bu Ita pertama kali bertemu dengan Mbah Muntamah ketika ia kebetulan melewati sebuah gang kecil di Surabaya. Di sana, ia melihat seorang perempuan tua, Mbah Muntamah, duduk di depan rumahnya yang sangat sederhana. Rumah itu, jika bisa disebut rumah, hanyalah sebuah gubuk sewaan dengan lantai tanah dan dinding dari seng serta triplek. Atapnya pun terbuat dari seng dan genteng tua yang sudah tak layak pakai. Kondisi rumah tersebut begitu memprihatinkan, terutama saat hujan, di mana air akan masuk dan membanjiri seluruh isi rumah.
“Tersirat dalam hati saya, Ya Allah, di tengah kota Surabaya ini kok masih ada rumah yang seperti ini,” kenang Bu Ita.
Mbah Muntamah hidup bersama satu-satunya putra yang memiliki keterbelakangan mental. Mereka bertahan hidup dari penghasilan yang sangat minim. Setiap hari, Mbah Muntamah hanya bisa mengolah bahan makanan sederhana seperti jagung dan ubi jalar, yang kemudian dititipkan ke warung-warung untuk dijual. Namun, pendapatannya tak lebih dari 15-20 ribu rupiah per hari, jumlah yang sangat tidak mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari, apalagi untuk biaya perawatan putranya yang sakit.
Saat itu, Mbah Muntamah tidak mendapatkan bantuan dari pihak manapun. Menyaksikan kondisi tersebut, Bu Ita merasa terpanggil untuk membantu.
“Ya Allah, gimana caranya saya bisa membantu orang tersebut,” ujar Bu Ita dengan penuh empati.
Beruntung, BAZNAS memiliki program bantuan untuk dhuafa fakir, dan setelah diajukan, Mbah Muntamah pun menerima bantuan sebesar Rp 400.000 setiap bulannya, yang seharusnya diberikan seumur hidup.
Namun, takdir berkata lain. Beberapa waktu setelah mendapatkan bantuan, Mbah Muntamah didiagnosa menderita kanker payudara dan harus menjalani operasi. Meski demikian, kondisinya semakin memburuk, dan akhirnya ia pun dipanggil oleh Yang Maha Kuasa.
“Allah ternyata punya rencana lain. Ternyata Mbah Muntamah tidak bisa melanjutkan umurnya,” ucap Bu Ita dengan rasa haru.
Sebagai seorang relawan yang terjun langsung ke lapangan, Bu Ita merasakan betapa banyaknya orang-orang yang membutuhkan bantuan, namun enggan menunjukkan kesusahan mereka.
“Ada orang yang benar-benar ingin kita bantu, kalau kita langsung datang ke tempat orang itu, mereka bisa menangis,” cerita Bu Ita.
Banyak dari mereka yang hidup dalam keterbatasan, tanpa penghasilan, tanpa modal, dan tak lagi memiliki tenaga untuk bekerja. “Jalan satu-satunya apa? ya kita harus peduli,” tegasnya.
Kisah Mbah Muntamah adalah sebuah potret kehidupan yang sering kali luput dari perhatian kita. Lewat pengalaman Bu Ita, kita diajak untuk lebih peduli dan berbagi kepada mereka yang membutuhkan. Perjuangan Mbah Muntamah mungkin telah usai, tetapi semangat kepedulian yang ditinggalkan akan terus menginspirasi kita semua.
(Laporan:Baznas//Spotnews.id-Ryn)