Jakarta, Spotnews.id- Otoritas Amerika Serikat memberikan sanksi kepada seorang warga Negara Indonesia (WNI), Agung Surya Dewanto, karena perusahaannya yang bernama Surabaya Hobby dinyatakan telah memasok 100 servomotor sebagai komponen produksi kendaraan udara nirawak (UAV) ke Pishgam Electronic Safeh Company (PESC) di Iran.
Dalam laporan Kantor Pengawasan Aset Luar Negeri Departemen Keuangan (OFAC) AS itu, PESC disebut sebagai perusahan yang ditunjuk untuk menyediakan servomotor bagi Pasukan Udara Korps Pengawal Revolusi Iran, bernama Islamic Revolutionary Guard Corps Aerospace Force Self Sufficiency Jihad Organization (IRGC ASF SSJO) dan program UAV-nya. AS menyebut pesawat udara nirawak hasil produksi IRGC Iran itu didistribusikan ke kelompok-kelompok teroris di Timur Tengah, dan juga ke Rusia dalam perang Ukraina.
Saat dihubungi BBC News Indonesia, Agung Surya Dewanto membantah laporan tersebut. “Tidak benar, dan tidak pernah kirim ke perusahaan tersebut (PESC) atau ke negara Iran,” kata Agung, Selasa (16/1/2024). Servomotor adalah perangkat elektromekanik yang berfungsi mendorong atau memutar objek dengan akurasi tinggi. Alat ini memiliki peran penting pada drone dalam memberikan kinerja penerbangan yang stabil dan presisi. Agung mengaku bahwa dia pernah menjual komponen drone ke luar negeri, dan mungkin alat-alat itu disalahgunakan dan dijual sama pembeli ke Iran. Selain Indonesia, OFAC AS juga menjatuhkan sanksi kepada entitas dan individu yang berbasis di Iran, Malaysia, dan Hong Kong karena mendukung produksi drone milik Iran.
Peneliti pertahanan dan intelijen dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Diandra Megaputri Mengko mengatakan pola perdagangan senjata dan komponennya seperti yang terungkap dalam laporan AS itu bukan lah hal yang baru. “Ini kerap terjadi baik di Indonesia maupun negara lain, melalui broker dan lain sebagainya. Apabila ditemukan indikasi yang mengarah sesuai laporan AS maka perlu ada tindak lanjut dan penanganan bagi sistem perizinan (ekspor) di Indonesia, mungkin itu evaluasi bagi pemerintah,” ujarnya. Sementara itu, anggota Komisi I DPR, Muhammad Farhan, mengatakan beberapa kementerian Indonesia harus melobi Amerika untuk meyakinkan bahwa tidak ada satu pun pihak, baik pemerintah maupun perusahaan di Indonesia, yang mengetahui tujuan penggunaan komponen itu.
Dalam keterangan pers di situs Kementerian Keuangan AS, OFAC menjelaskan secara rinci nama individu hingga perusahaan yang menurut mereka terlibat dalam jaringan produksi pesawat nirawak buatan Iran. “Produksi ilegal dan penyebaran UAV Iran yang mematikan ke proksi-proksi [pihak] teroris di Timur Tengah dan Rusia terus memperburuk ketegangan dan memperpanjang konflik, sehingga merusak stabilitas,” kata Wakil Menteri Keuangan untuk Terorisme dan Intelijen Keuangan AS Brian E. Nelson. “Amerika Serikat, melalui koordinasi yang erat dengan sekutu dan mitra kami, akan terus menggunakan seluruh alat dan otoritas kami untuk memutuskan jaringan pengadaan ilegal ini, serta meminta pertanggungjawaban individu dan entitas yang berusaha mendukung mereka,” tambahnya. Pihak utama yang disebut dalam laporan ini adalah Gary Lam dan Hossein Hatefi Ardakani.
Departemen Kehakiman AS bahkan mengumumkan pembukaan dakwaan yang menuntut mereka berdua karena diduga melakukan kejahatan terkait jaringan pengadaan ilegal dan skema ekspor tidak sah teknologi sensitif asal AS ke Iran. Pada tanggal 18 Oktober 2023, OFAC menyebut Gary Lam atau Lin Jinghe terlibat dengan agen pengadaan barang di Iran yang bekerja untuk Saberin Kish, milik IRGC. Pesawat nirawak IRGC seri Shahed mampu menyerang dengan meledakkan diri ketika mengenai sasaran. Drone ini disebut digunakan oleh Rusia dalam perang dengan Ukraina.
Pola jual beli senjata ‘lewat broker’ kerap terjadi Peneliti pertahanan dan intelijen Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Diandra Megaputri Mengko menilai, pola perdagangan komponen senjata seperti yang diungkapkan dalam laporan AS itu bukan hal yang baru.
“Ini kerap terjadi juga baik di Indonesia maupun negara lain, baik melalui broker dan lain sebagainya,” kata Diandra. Untuk itu, menurutnya, otoritas Indonesia perlu melakukan penelusuran guna mencari kebenaran atas laporan AS tersebut, khususnya dugaan keterlibatan warganya. “Perlu dipastikan dulu kebenaran apakah benar terjadi ekspor servomotor yang digunakan untuk pembangunan misil di Iran atau tidak. Ini juga untuk mengklarifikasi bahwa pemerintah Indonesia tidak terlibat atas perdagangan itu sendiri,” katanya. Jika kemudian ditemukan adanya indikasi-indikasi yang sesuai dengan laporan AS itu, kata Diandra, maka harus dilakukan upaya memutus dan mencegah praktik serupa terulang.
“Perlu ada tindak lanjut dan penanganan bagi sistem perizinan [ekspor] di Indonesia, mungkin itu evaluasi bagi pemerintah,” ujarnya. Selain itu, Diandra memprediksi, pemerintah akan berhati-hati dalam menanggapi laporan AS itu. “Karena selama ini juga Kemlu dan Kemhan sangat berhati-hati dalam menanggapi sanksi atau CAATSA dari AS,” katanya.
Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act (CAATSA) adalah sanksi yang diberikan AS ke negara mitranya jika membeli alat utama sistem persenjataan (alutsista) dari negara yang dilarang, seperti Rusia. BBC News Indonesia telah menghubungi Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Lalu Muhamad Iqbal, namun hingga berita ini diturunkan dia belum merespon. “Canggih juga intelijen USA sampai punya data vendor” Anggota Komisi I DPR, Muhammad Farhan mengaku cukup kaget dengan data yang diungkap dalam laporan AS itu. “Canggih juga intelijen USA sampai punya data vendor spare parts. Saya yakin banyak di antara kami, di pemerintahan Indonesia yang tidak mengetahui hal ini,” ucap Farhan.
Untuk itu, menurutnya, Kementerian Pertahanan, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian harus melobi Amerika untuk meyakinkan bahwa tidak ada satu pun pihak di Indonesia, baik pemerintah maupun perusahaan, yang mengetahui tujuan penggunaan komponen tersebut. “Selanjutnya empat kementerian itu harus melobbi USA untuk menghentikan sanksi itu, bahkan diarahkan untuk kerja sama lebih erat agar bisa bekerja sama pengembangan teknologi militer,” katanya. “Maka USA bisa membantu Indonesia melakukan audit teknologi terhadap produk perusahaan Indonesia yang memiliki kemampuan/teknologi militer sehingga membantu perkembangan industri militer di Indonesia,” tutup Farhan.
(Sumber: Kompas.com // Spotnews.id – Ahm)