Muncul wacana penerapan libur sekolah sebulan selama Ramadan. Wacana libur sekolah sebulan selama Ramadan ini pun menuai pro dan kontra.
Adapun Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar sudah bicara soal wacana sekolah libur sebulan selama Ramadan ini. Nasaruddin mengatakan pondok pesantren sudah menerapkan libur selama Ramadan, tapi untuk sekolah-sekolah negeri maupun swasta masih menunggu pengumuman.
“Ya, sebetulnya sudah warga Kementerian Agama, khususnya di pondok pesantren, itu libur. Tetapi sekolah-sekolah yang lain juga masih sedang kita wacanakan, tetapi ya nanti tunggulah penyampaian-penyampaian,” kata Nasaruddin kepada wartawan, di Monas,
Dia menerangkan yang terpenting selama Ramadan adalah kualitas ibadahnya, bukan soal sekolah diliburkan atau tidak. Dia menekankan lagi, wacana libur sebulan di sekolah masih menunggu perkembangan.
“Yang jelas bahwa libur atau tidak libur, sama-sama kita berharap berkualitas ibadahnya. Bagi saya, itu yang paling penting. Ramadan itu adalah konsentrasi bagi umat Islam,” ujarnya.
Nasaruddin berharap Ramadan mendatang bisa lebih berkualitas bagi anak-anak. Dia ingin siswa bisa mengamalkan amalan-amalan sosial agama Islam, bukan sekadar teori di sekolah.
“Kami berharap mudah-mudahan Ramadan kali ini bisa lebih berkualitas. Kualitasnya itu ada anak-anak kita bisa lebih berkonsentrasi, mengaji, menghafal Qur’an, mengamalkan amalan-amalan sosial agama Islam, tidak hanya teori ya di sekolah, tapi juga ada pengamalan, kita kan beribadah puasa, mungkin juga ada berkumpul bersama keluarganya, mungkin juga akan ada yang mengamalkan amalan-amalan sosial di bulan Ramadan, kan pahalanya banyak ya,” katanya.
Wacana ini pun menuai beragam tanggapan. Salah satunya tanggapan dari Anggota Komisi VIII DPR F-PDIP Selly Andriyani Gantina. Dia meminta agar dilakukan kajian yang matang agar tidak mengurangi kualitas pendidikan.
“Pentingnya memastikan bahwa kebijakan ini tidak mengurangi kualitas pendidikan. Pendidikan agama maupun umum di madrasah dan pondok pesantren harus tetap terjamin. Ramadan memang menjadi momen penting untuk memperkuat nilai-nilai spiritual, tetapi kita juga harus memastikan bahwa pembelajaran tetap berjalan dengan efektif, baik secara formal maupun non-formal. Jika libur panjang diterapkan, perlu ada skema untuk mengganti waktu belajar yang hilang agar tidak ada kurikulum yang tertinggal,” kata Selly
Selly mengatakan pendekatan berbeda untuk pesantren dan madrasah perlu dipertimbangkan. Dia menilai pesantren biasanya memiliki sistem pembelajaran yang lebih fleksibel, sebab berfokus pada pendidikan agama secara intensif, sehingga libur sebulan bisa dimanfaatkan untuk kegiatan keagamaan di luar kelas formal.
“Namun, untuk madrasah yang mengikuti kurikulum nasional, ada keterbatasan dalam mengatur kalender akademik, terutama jika libur ini berdampak pada jadwal ujian atau penyelesaian materi,” kata Selly.
Selain itu, Selly meminta agar libur selama satu bulan agar diimbangi dengan kegiatan produktif. Salah satunya dia mengusulkan adanya pesantren kilat.
“Pemerintah bisa mendorong program-program seperti pesantren kilat, bimbingan keagamaan, atau kegiatan sosial selama Ramadan untuk memastikan siswa tetap mendapatkan pembelajaran yang bermakna. Artinya, bukan libur selama Ramadan, tapi menggeser pendidikan dari instansi formal–sekolah-pesantren ke lingkungan rumah, dan keluarga, rumah-baperkam-balai desa. Tinggal bagaimana negara mengontrol kualitas pendidikan tetap terjaga. Karena saya sadari, sebagaimana mengutip Ki Hajar Dewantara, setiap manusia adalah guru, dan setiap tempat adalah sekolah,” ucap dia.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah, Cholil Nafis, mengatakan wacana libur sekolah selama sebulan di saat Ramadan perlu dikaji lebih mendalam. Ia menyebut ada baiknya sekolah tetap berlangsung mempertimbangkan pembelajaran dan tak semua murid di sekolah umum beragama Islam.
“Mungkin bisa untuk pesantren (libur sebulan saat Ramadan) karena kurikulum dan masa belajarnya mungkin berbeda. Kalau sebagian pesantren sudah melaksanakan libur panjang bahkan seminggu sebelum Ramadan dan masuk seminggu setelah Ramadan. Hampir ya, 45 hari malah liburnya,” kata Cholil kepada wartawan, Rabu (1/12).
Namun, ia menilai sekolah umum perlu menyesuaikan dengan kurikulum. Cholil menilai bukan permasalahan libur atau tidak yang diributkan, melainkan soal produktivitas siswa.
“Tapi kalau untuk umum saya pikir perlu menyesuaikan dengan kurikulum, ya kurikulumnya, di samping juga yang kedua tidak semuanya muslim. Tapi menurut saya itu tergantung kajian mana yang lebih bermanfaat tetapi bukan liburnya, tetapi soal produktivitasnya,” ungkapnya.
Ia menilai ada baiknya siswa tetap melakukan pembelajaran di sekolah. Pendidik juga bisa menyertakan sejumlah aktivitas untuk penguatan pendidikan karakter hingga spiritual selama masa Ramadan.
“Alangkah baiknya Ramadan tetap di dalam sekolah, tetapi kurikulum sekolah itu atau pengajarannya di sekolah itu lebih diperbanyak pendidikan karakter, penguatan spiritualnya. Nah sekarang kan banyak agama hanya pengajarannya, bukan pendidikannya,” tutur Cholil.
“Pembentukan karakter aspek keagamaan, mungkin itu penting sehingga pada saat Ramadan bagi yang muslim banyak kegiatan-kegiatan yang mengaitkan insert pengajaran dalam pendidikan agama, pendidikan agama yang masuk pada pengajaran itu,” sambungnya.
Cholil berpandangan, jika berpuasa sambil belajar dilakukan, siswa akan terbiasa. Kendati demikian, jika hal tersebut mengurangi produktivitas, perlu dipertimbangkan kembali.
“Karena sebenarnya orang berpuasa dengan belajar itu kalau dibiasakan, tidak mengganggu. Tapi kalau dimaklumi karena lapar dan seterusnya maka menjadi tidak produktif oleh Nabi Muhammad SAW ya pendidikan itu pada saat puasa tidak terganggu, bahkan ada peperangan di saat bulan puasa,” imbuhnya.
(Laporan: Spotnews.id – Iz)